Minggu, 01 September 2013
HIV / AIDS DALAM KEHAMILAN
PENDAHULUAN
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) merupakan
kumpulan gejala penykit yang disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency
Virus). Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan
sperma, cairan vagina, serta air susu ibu.
Menurut WHO pada akhir tahun 2002 terdapat 42 juta orang
yang hidup dengan HIV, dan 95% dari infeksi baru terjadi di negara berkembang
dimana HIV belum menjadi prioritas karena terbatasnya dana. Di Asia Tenggara
pada tahun 2002 diperkirakan terdapat 6,1 juta ODHA, sedangkan di Indonesia
sendiri terdapat 90.000 – 130.000 ODHA. Bila angka kelahiran di Indonesia 2,5%
maka setiap tahun akan ada 2.250 – 3.250 bayi yang lahir dari ibu yang HIV
positif. Lebih dari 90% penularan HIV dari ibu ke anak terjadi selama dalam
kandungan, persalinan, dan menyusui, sedangkan hanya 10% ditularkan melalui
transfusi darah tercemar HIV maupun cara lainnya. Resiko bayi tertular HIV
dapat ditekan hingga 90%, bila ibu mendapatkan terapi antiretroviral (ARV)
selama masa kehamilan. Dengan demikian pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak atau PMTCT menjadi penting, karena sebagian besar ODHA perempuan berada
pada usia subur, lebih dari 90% kasus HIV ditularkan dari ibu. Anak yang
dilahirkan akan menjadi yatim piatu, dan anak yang terinfeksi HIV mengalami
gangguan tumbuh kembang karena lebih sering mengalami infeksi bakteri maupun
virus, belum lagi hukuman sosial bagi anak tersebut.
Pada tahun 1994, Pediatric AIDS Clinical Trials Group
(PACTG) Protokol 076 mendemonstrasikan three part regimen of zidovudine
(ZDV) dapat menurunkan resiko penularan HIV dari wanita hamil dengan HIV
positif kepada janin untuk virus HIV tipe 1 (HIV-1) hingga 70%. Regimen
tersebut termasuk ZDV oral yang diberikan pada usia kehamilan 14 – 34 minggu
dan dilanjutkan selama kehamilan, dilanjutkan dengan ZDV intravena selama
persalinan, dan pemberian ZDV oral untuk bayi, selama 6 minggu setelah
dilahirkan.
Sejak tahun 1994, telah dilakukan pengembangan untuk
mengetahui patogenesis serta pengobatan dan monitoring infeksi HIV-1. Kecepatan
perkembangan virus pada semua tahap infeksi HIV-1, lebih cepat dari yang pernah
diketahui sebelumnya; virion plasma diperkirakan memiliki paruh waktu hanya 6
jam. Maka dari itu, pengobatan intervensi difokuskan pada kombinasi agresif regimen
antiretroviral untuk memaksimalkan penekanan replikasi virus, meningkatkan
kembali fungsi imun, dan menurunkan hambatan penurunan daya tahan tubuh. Pada
saat ini telah tersedia ARV poten, yang menghambat enzim protease HIV-1.
Penggunaan kombinasi inhibitor protease dengan nucleoside analog reverse
trancriptase inhibitors (NRTIs), tingkat plasma HIV-1 RNA ditekan untuk
jangka waktu yang lebih lama, sampai pada tingkat yang tidak terdeteksi oleh
pemeriksaan yang ada.
- Pengelolaan HIV / AIDS di Indonesia
Pada saat ini kurang dari 5% ODHA di negara berkembang yang
membutuhkan ARV dapat terjangkau. Pedoman pengobatan antiretroviral memberikan
informasi mengenai 4S yaitu starting, substituting, switching,
dan stopping, yang merupakan saat yang tepat untuk memulai terapi (starting),
memilih obat yang harus diteruskan bila harus mengganti regimen pengobatan (substituting),
alasan untuk mengganti seluruh regimen (switching), dan saat
menghentikan antiretroviral (stopping)
- Prasyarat
Pemberian terapi antiretroviral (ARV) menurut Pedoman
Nasional Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan bagi ODHA, Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesahatan
Republik Indonesia tahun 2003, umumnya mempunyai persyaratan tertentu,
misalnya jumlah CD4 < 200 sel/mm3 , namun pemberian ART pada ODHA hamil
dengan tujuan pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin / bayinya tidak
memperhatikan persyaratan tersebut di atas.
Secara umum, sebelum memulai pengobatan antiretroviral,
sebaiknya tersedia layanan dan fasilitas khusus, karena terapi yang rumit dan
biaya yang tinggi, dan juga memerlukan pemantauan yang intensif.
Layanan tersebut terdiri dari :
- Layanan konseling dan pemeriksaan sukarela (Voluntary Counseling and Testing / VCT) untuk menemukan kasus yang memerlukan pengobatan dan layanan konseling tindak lanjut untuk memberikan dukungan psikososial berkelanjutan.
- Layanan konseling kepatuhan untuk memastikan kesiapan pasien menerima pengobatan oleh konselor terlatih dan meneruskan pengobatan (dapat diberikan melalui pendampingan atau dukungan sebaya).
- Layanan medis yang mampu mendiagnosis dan mengobati penyakit yang sering berkaitan dengan HIV seta infeksi oportunistik.
- Layanan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan laboratorium rutin seperti pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah. Akses ke laboratorium rujukan yang mampu melakukan pemeriksaan CD4 bermanfaat untuk memantau pengobatan
- Ketersediaan ARV dan obat infeksi oportunistik serta penyakit terkait lain yang efektif, bermutu, terjangkau, dan berkesinambungan.
- Penilaian klinis
Sebelum memulai pengobatan, perlu dilakukan :
·
Penggalian
riwayat penyakit secara lengkap
·
Pemeriksaan
fisik lengkap
·
Pemeriksaan
laboratorium rutin
·
Hitung
limfosit total (Total Lymphocyte Count/TLC)
·
Pemeriksaan
jumlah CD4 bila mungkin
Perlu
penilaian klinis yang rinci :
·
Menilai
stadium klinis infeksi HIV
·
Mengidentifikasi
penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu
·
Mengidentifikasi
penyakit yang berhubungan dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan
·
Mengidentifikasi
pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi
Riwayat
penyakit :
·
Kapan
dan dimana diagnosis HIV ditegakan
·
Kemungkinan
sumber infeksi HIV
·
Gejala
dan keluhan pasien saat ini
·
Riwayat
penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima, termasuk infeksi
oportunistik
·
Riwayat
penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB) termasuk kemungkinan kontak dengan TB
sebelumnya
·
Riwayat
kemungkinan Infeksi Menular Seksual (IMS)
·
Riwayat
dan kemungkinan adanya kehamilan
·
Riwayat
penggunaan ARV termasuk riwayat regimen untuk PMTCT sebelumnya
·
Riwayat
pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada wanita
·
Kebiasaan
sehari – hari dan riwayat perilaku seksual
·
Riwayat
penggunaan NAPZA suntik
Pemeriksaan
fisik meliputi :
·
Berat
badan
·
Tanda
vital
·
Kulit:
herpes zoster, sarkoma kaposi, dermatitis HIV, pruritc papular eruption
(PPE), dermatitis seboroik berat, jejas suntikan (needle track), atau
jejas sayatan.
·
Limfadenopati
·
Selaput
lendir orofaringeal : kandidiasis, sarkoma kaposi, hairy leukoplakia, HSV
·
Pemeriksaan
jantung, paru, abdomen
·
Pemeriksaan
sistem syaraf dan otot rangka: keadaan kejiwaan, berkurangnya fungsi motoris
dan sensoris
·
Pemeriksaan
fundus mata: retinitis dan papil edema
·
Pemeriksaan
saluran kelamin / alat kandungan
Pemeriksaan
psikologis:
·
Untuk
mengetahui status mental
·
Menilai
kesiapan menerima pengobatan jangka panjang atau seumur hidup
Pemeriksaan
laboratorium:
·
Pemeriksaan
serologi untuk HIV dengan menggunakan strategi 2 atau strategi 3 sesuai pedoman
·
Limfosit
total atau CD4 (jika tersedia)
·
Pemeriksaan
darah lengkap (terutama Hb) dan kimia darah (terutama fungsi hati) dan fungsi
ginjal
·
Pemeriksaan
kehamilan
Pemeriksaan
tambahan yang diperlukan sesuai riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis:
·
Foto
toraks
·
Pemeriksaan
urin rutin dan mikroskopis
·
Serologi
virus hepatitis C (HCV) dan virus hepatitis B (HBV) tergantung adanya
pemeriksaan dan sumber daya
Jika
memungkinkan, dilakukan pemeriksaan kimia darah yang meliputi:
·
Kreatinin
serum dan atau ureum darah untuk menilai fungsi ginjal pada awal
·
Glukosa
darah
·
SGOT
/ SGPT untuk mengetahui kemungkinan adanya hepatitis serta memantau adanya
keracunan obat
·
Pemeriksaan
lain bila perlu, seperti: bilirubin serum, lipid serum, dan amilase serum
Pemeriksaan
HIV harus dilakukan oleh teknisi terlatih di laboratorium yang menjalankan
program jaga mutu. Hasil pemeriksaan sebaiknya juga menyebutkan jenis
pemeriksaan yang dipakai untuk menegakan diagnosis berdasarkan pedoman WHO.
Bila timbul keraguan, pemeriksaan harus diulang di laboratorium rujukan.
Tabel
1. Klasifiaksi Klinis Infeksi HIV pada Oang Dewasa (WHO)
Stadium
|
Gambaran Klinis
|
Skala Aktivitas
|
I
|
|
Asimptomatik,
aktivitas normal
|
II
|
|
Simptomatik,
aktivitas normal
|
III
|
|
Pada
umumnya lemah, aktivitas di tempat tidur < 50%
|
IV
|
|
Pada
umumnya sangat lemah, aktivitas di tempat tidur > 50%
|
Keterangan
:
- HIV wasting syndrome: berat badan turun > 10% ditambah diare kronik > 1 bulan atau demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain
- Ensefalopati HIV: gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang menganggu aktivitas hidup sehari – hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu atau bulan yang tidak disertai penyakit lain selain HIV
Tabel
2. Klasifikasi Klinis Infeksi HIV pada Anak
Stadium
|
Gambaran Klinis
|
I
|
|
II.
|
|
III
|
|
Keterangan:
Penurunan
berat badan >10% jika baseline atau kurang dari persentil 5 dari grafik
berat badan pada dua kali pengukuran dengan jarak lebih dari 1 bulan tanpa
penyebab ataupun penyakit lain
1. Persyaratan lain
·
Sebelum
mendapat pengobatan ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan
konseling kepatuhan yang telah baku, sehingga pasien memahami manfaat, cara
penggunaan, efek samping obat, tanda bahaya, dan sebagainya yang berhubungan
dengan ARV
·
Pasien
yang mendapat pengobatan ARV harus menjalani pemeriksaan untuk pemantauan
klinis secara teratur
1. Indikasi pengobatan antiretroviral
Pengobatan ARV pada ODHA dewasa harus segera dimulai bila
infeksi HIV telah ditegakan secara laboratoris disertai salah satu keadaan di
bawah ini:
·
Tahap
lanjut klinis infeksi HIV:
o Infeksi HIV stadium IV tanpa
memandang jumlah CD4
o Infeksi HIV stadium III dengan CD4
< 350 sel/mm3
·
Infeksi
HIV stadium I atau II dengan CD4 < 200 sel/mm3
Bila
tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4, sebagai indikator pengobatan ARV pada
infeksi HIV simptomatik digunakan limfosit total ≤ 1200/mm3, dan pada pasien
asimptomatik jumlah limfosit total kurang berkolerasi dengan jumlah CD4.
Pemeriksaan viral load (misalnya dengan kadar RNA HIV-1
dalam plasma) tidak dianggap perlu sebelum dimulainya ARV dan tidak
direkomendasikan WHO sebagai tindakan rutin dalam pengambilan keputusan
pengobatan.
Tabel
3. Pengobatan ART pada ODHA Dewasa
Tersedia Pemeriksaan CD4
|
|
Tidak Tersedia Sarana Pemeriksaan CD4
|
|
Tabel
4. Dosis Antiretroviral untuk ODHA Dewasa
Golongan
/ Nama Obat
|
Dosis
|
Nucleoside
RTI
|
|
Abicavir
(ABC)
|
300 mg
setiap 12 jam
|
Didanosine
(ddl)
|
400 mg
sekali sehari
(250 mg
sekali sehari bila BB < 60 kg)
(250 mg
sekali sehari bila diberikan bersama dengan TDF)
|
Lamivudine
(3TC)
|
150 mg
setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari
|
Stavudine
(d4T)
|
40 mg
setiap 12 jam
(30 mg
setiap 12 jam bila BB < 60 kg)
|
Zidovudine
(ZDV atau AZT)
|
300 mg
setiap 12 jam
|
Nucleotide
RTI
|
|
Tenofovir
(TDF)
|
300 mg
sekali sehari
(Interaksi
obat dengan ddl, perlu mengurangi dosis ddl)
|
Non
Nucleoside RTIs
|
|
Evafirenz
(EFV)
|
600 mg
sekali sehari
|
Nevirapine
(NVP)
|
200 mg
sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12 jam
|
Protease
Inhibitors
|
|
Indinavir/ritonavir
(IDV/r)
|
800 mg /
100 mg setiap 12 jam
|
Lopinavir/ritonavir
(LPV/r)
|
400 mg /
100 mg setiap 12 jam
(533 mg
/ 133 mg setiap 12 jam bila dikombinasi dengan EVP atau NVP)
|
Nelfinavir
(NFV)
|
1250 mg
setiap 12 jam
|
Saquinavir/ritonavir
(SQV/r)
|
1000 mg
/ 100 mg setiap 12 jam atau 1600 mg / 200 mg sekali sehari
|
Ritonavir
(RTV/r)
|
Kapsul
100 mg, larutan oral 400 mg / 5 ml
|
- HIV pada Kehamilan
Kehamilan berencana maupun tidak berencana dapat terjadi
pada wanita dengan HIV positif. Keinginan ODHA untuk hamil perlu diperhatikan.
Setelah memperoleh informasi yang benar tentang pengaruh HIV pada kehamilan,
serta resiko penularan terhadap bayi, maka kita perlu menghargai keputusan yang
diambil ODHA
Efek infeksi HIV pada kehamilan berkaitan dengan abortus,
prematuritas, IUGR (Intra Uterin Growth Restriction), IUFD (Intra
Uterin Fetal Death), penularan pada janin, dan meningkatnya angka kematian
ibu.
Sebaliknya, kehamilan hampir tidak berpengaruh pada infeksi
HIV, adanya penurunan CD4 terjadi karena bertambahnya volume cairan tubuh
selama kehamilan, di samping itu kadar HIV stabil dan tidak mempengaruhi resiko
kematian atau perkembangan menjadi AIDS.
Pemantauan kehamilan pada CD4 < 500sel/mm3 dianjurkan
setiap 3 minggu sampai usia kehamilan 28 minggu dan setiap 2 minggu sampai usia
kehamilan 36 minggu, kemudian seminggu sekali sampai persalinan.
Pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium darah
lengkap, serta hitung CD4, dan USG bila fasilitas memungkinkan pada usia
kehamilan 16, 28, dan 36 minggu pada wanita hamil yang menggunakan pengobatan
antiretroviral atau CD4 < 200sel/mm3.
- Penularan perinatal
Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA kepada
janin pada masa perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar
5 – 10%, saat persalinan sekitar 10 – 20%, dan saat menyusui sekitar 10 – 20%
bila disusui sampai 2 tahun. Penularan pada masa menyusui terutama terjadi pada
minggu – minggu pertama menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi saat
menyusui. Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan bayinya
terinfeksi HIV sekitar 15 – 30%, bila menyusui sampai 6 bulan kemungkinan
terinfeksi 25 – 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang sampai 18 – 24 bulan
maka resiko terinfeksi meningkat menjadi 30 – 45 %.
Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak
dapat melalui plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi,
sehingga tidak semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV
saat dalam kandungan. Plasenta bahkan melindungi janin dari HIV, namun
perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri, ataupun parasit
pada plasenta, atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah.
Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu,
maupun lendir ibu dan bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi.
Semakin lama proses persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan
tubuh ibu semakin lama, resiko penularan semakin tinggi.
ASI dari ibu yang terinfeksi HIV tmengandung HIV dalam
konsentrasi yang lebih rendah dari yang ditemukan dalam darahnya. Penularan
terjadi pada sekitar 10 – 20% bayi yang disusui selama 18 bulan atau lebih.
Atas dasar tersebut, ibu dengan infeksi HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya
dan diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi penularan dari ibu ke bayi di
negara maju sekitar 15 – 25%, sedangkan di negara berkembang 25 – 45%,
dihuungkan dengan kebiasaan menyusui yang tinggi di negara berkembang.
Dengan perkembangan pengertian mengenai patogenesis
penularan HIV-1 pada perinatal, diketahui bahwa kebanyakan terjadi pada waktu
mendekati persalinan. Data tambahan, telah menunjukan keamanan jangka pendek
penggunaan regimen ZDV, pada pemantauan pada bayi dan wanita dengan penobatan
PACTG 076. Data dari hasil penelitian pada hewan, menunjukan potensi karsinogen
transplasental dari penggunaan ZDV, sehingga dibutuhkan pemantauan lanjut pada
anak dengan pemaparan antiretroviral in-utero.
- Faktor yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke bayi
Penularan HIV dari ibu ke bayi umumnya terkait dengan daya
tahan tubuh, dan virulensi kuman.
Faktor ibu :
·
Ibu
yang baru terinfeksi HIV mudah menularkan ke bayinya. Hal ini disebabkan jumlah
virus dalam tubuh ibu sangat tinggi dibandingkan jumlah virus pada ibu yang
tertular HIV sebelum atau selama masa kehamilan.
·
Ibu
dengan penyakit terkait HIV seperti batuk, diare terus – menerus, kehilangan
berat badan, hal ini juga disebabkan jumlah virus dalam tubuh ibu tinggi.
·
Infeksi
pada kehamilan, terutama infeksi menular seksual atau infeksi plasenta
·
Kurang
gizi saat hamil, terutama kekurangan mikronutrisi
·
Mastitis
·
KPD,
partus lama, dan intervensi saat persalinan seperti amniotomi, episiotomi.
Faktor
bayi :
·
Bayi
lahir prematur
·
Menyusui
pada ibu dengan HIV
·
Lesi
pada mulut bayi meningkatkan resiko tertular HIV, terutama pada bayi dibawah
usia 6 bulan
- Pencegahan Penularan HIV pada Bayi dan Anak
Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of
HIV, World Health Organization menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of
the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan
vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta
keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan. PMTCT
merupakan program yang komperhensif dan mengikuti protokol serta kebijakan
nasional.
Intervensi PMTCT :
·
Pemeriksaan
dan konseling HIV
·
Antiretroviral
·
Persalinan
yang lebih aman
·
Menyusui
yang lebih aman
Keterlibatan
pasangan dalam PMTCT:
·
Kedua
pasangan harus mengetahui pentingnya sex yang aman selama persalinan dan masa
menyusui
·
Kedua
pasangan harus menjalani pemeriksaan dan konseling HIV
·
Kedua
pasangan harus mengetahui dan menjalankan PMTCT
Faktor
resiko MTCT selama kehamilan:
·
Viral
load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru
atau lanjutan)
·
Infeksi
virus, bakteri, maupun parasit melaui plasenta (khususnya malaria)
·
Infeksi
menular seksual
·
Malnutrisi
maternal (secara tidak langsung)
Faktor
resiko MTCT selama persalinan:
·
Viral
load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru
atau lanjutan)
·
Pecahnya
ketuban > 4 jam sebelum persalinan dimulai
·
Prosedur
persalinan invasif
·
Janin
pertama pada kehamilan multipel
·
Korioamnionitis
Faktor
resiko MTCT selama masa menyusui:
·
Viral
load ibu yang tinggi (HIV / AIDS baru
atau lanjutan)
·
Lama
menyusui
·
Pemberian
ASI dengan pemberian makanan pengganti yang awal
·
Abses
payudara / puting yang terinfeksi
·
Malnutrisi
maternal
·
Penyakit
oral bayi (mis: trust atau luka mulut)
WHO
mencanangkan empat strategi untuk pencegahan penularan HIV pada bayi dan anak,
yaitu :
1. Pencegahan primer, dengan melakukan
pencegahan agar seluruh wanita jangan sampai terinfeksi HIV
Merupakan hal yang paling penting, yaitu agar seorang ibu
yang sehat jangan sampai tertular HIV, untuk itu terutama ubah perilaku
seksual, setia pada pasangan, hindari hubungan seksual dengan berganti
pasangan, bila hal ini dilanggar, gunakan kondom. Penyakit yang ditularkan
secara seksual harus dicegah dan diobati dengan segera. Jangan menjadi pengguna
narkotika suntikan, terutama dengan penggunaan jarum suntik bergantian.
Untuk petugas kesehatan agar mengikuti kaidah kewaspadaan
universal standar. Dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain yang merawat
pasien dengan HIV / AIDS (ODHA) tidak termasuk kelompok resiko tinggi tertular
HIV, khususnya bila menerapkan prosedur baku kewaspadaan universal pencegahan
penularan infeksi. Semua darah atau cairan tubuh harus dianggap dapat
menularkan HIV atau penyakit lain yang terdapat dalam darah.
Transfusi darah harus memakai darah atau komponen darah yang
sudah dinyatakan bebas HIV dan untuk operasi berencana upayakan transfusi darah
autologus.
Pada pasangan yang ingin hamil, sebaiknya dilakukan tes HIV
sebelum kehamilan, dan bagi yang telah hamil, dilakukan tes HIV pada kunjungan
pertama.
Kunci dari keberhasilan program ini adalah VCT (Voulentary
Counseling and Testing), yaitu konseling dan kesiapan menjalani tes HIV.
Sasarannya adalah wanita muda dan pasangannya, serta ibu hamil dan menyusui.
2. Menghindari kehamilan yang tidak
diinginkan pada wanita dengan HIV positif
Ada tiga strategi yang dicanangkan :
1. Mencegah kehamilan yang tidak
diinginkan
Kebanyakan wanita dengan infeksi HIV di negara berkembang
tidak mengetahui status serologis mereka, maka VCT memegang peranan penting.
Pelayanan KB perlu diperluas untuk semua wanita, termasuk mereka yang
terinfeksi, mendapatkan dukungan dan pelayanan untuk mencegah kehamilan yang
tidak diketahui. Bagi wanita yang sudah terinfeksi HIV agar mendapat pelayanan
esensial dan dukungan termasuk keluarga berencana dan kesehatan reproduksinya
sehingga mereka dapat membuat keputusan tentang kehidupan reproduksinya.
2. Menunda kehamilan berikutnya
Bila ibu tetap menginginkan anak, WHO menyarankan minimal 2
tahun jarak antar kehamilan. Untuk menunda kehamilan :
·
Tidak
diperkenankan memakai alat kontrasepsi dalam rahim sebab dapat menjalarkan
infeksi ke atas sehingga menimbulkan infeksi pelvis. Wanita yang menggunakan
IUD mempunyai kecenderungan mengalami perdarahan yang dapat menyebabkan
penularan lebih mudah terjadi.
·
Kontrasepsi
yang dianjurkan adalah kondom, sebab dapat mencegah penularan HIV dan infeksi
menular seksual, namun tidak mempunyai angka keberhasilan yang sama tinggi
dengan alat kontrasepsi lainnya seperti kontrasepsi oral atau noorplant.
·
Kontrasepsi
oral dan kontrasepsi hormonal jangka panjang seperti noorplant dan depo provera
tidak merupakan suatu kontraindikasi pada wanita yang terinfeksi HIV.
Penelitian sedang dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kontrasepsi
hormonal terhadap perjalanan penyakit HIV.
·
Spons
dan diafragma kurang efektif untuk mencegah kehamilan maupun mencegah penularan
HIV.
·
Untuk
ibu yang tidak ingin punya anak lagi, kontrasepsi yang paling tepat adalah
sterilisasi (tubektomi atau vasektomi).
Bila
ibu memilih kontrasepsi lain selain kondom untuk mencegah kehamilan, maka
pemakaian kondom harus tetap dilakukan untuk mencegah penularan HIV.
1. Gantikan efek kontrasepsi menyusui
Tindakan tidak menyusui untuk mencegah penukaran HIV dari
ibu ke bayi menyebabkan efek kontrasepsi laktasi menjadi hilang, untuk itu
perlu alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.
1. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke
janin
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin /
bayinya meliputi empat hal, mulai saat hamil, melahirkan, dan setelah lahir :
·
Penggunaan
ARV selama kehamilan (proyek PMTCT plus)
·
Penggunaan
ARV saat persalinan dan bayi yang baru dilahirkan
·
Penanganan
obstetrik selama persalinan
·
Penatalaksanaan
selama menyusui
1. Pengobatan, perawatan, dan pemberian
dukungan pada wanita dengan HIV, bayi, serta keluarganya
·
Menyediakan
pengobatan yang berhubungan, perawatan, serta dukungan yang berhubungan dengan
HIV bagi para wanita
·
Menediakan
diagnosis dini, perawatan, serta dukungan bagi bayi dan anak dengan infeksi HIV
positif
·
Mengusahakan
hubungan antar layanan masyarakat untuk layanan keluarga terpadu
- Antiretroviral pada Kehamilan
Menurut rekomendasi penggunaan pengobatan antiretroviral
pada wanita hamil dengan HIV-1 positif untuk kesehatan ibu, serta intervensi
untuk menurunkan penularan HIV-1 perinatal di Amerika Serikat, yang direvisi
pada 24 Februari 2005 oleh Perinatal HIV Guidelines Working Group
menyatakan, pengobatan untuk wanita hamil dengan HIV-1 positif berdasarkan
keyakinan bahwa pengobatan mempunyai kegunaan yang telah diketahui bagi wanita
selama kehamilan, kecuali ada efek yang diketahui bagi ibu maupun janin.
Pengobatan ARV pada wanita hamil diberikan bila :
- Mengalami gejala berat HIV atau dengan diagnosa AIDS
- CD4 < 200 sel/mm3
- Viral load > 1000/ml
Pengobatan ARV juga diperlukan untuk mencegah penularan HIV
terhadap janin.
Pengobatan anti HIV merupakan bagian penting dalam menjaga
kesehatan ibu, serta mencegah penularan HIV kepada janin. Keputusan untuk
memulai terapi tergantung pada beberapa faktor, yang juga harus diketahui oleh
wanita yang tidak hamil, yaitu :
·
Resiko
infeksi HIV yang menjadi berat
·
Resiko
dan kegunaan menunda pengobatan
·
Toksisitas
pengobatan, serta interaksi obat dengan obat lain yang diminum
·
The
need to adhere to a drug regimen closely
Sebagai
tambahan, bagi wanita hamil dengan HIV, harus mempertimbangkan :
·
Keuntungan
menurunkan jumlah virus serta menurunkan resiko penularan HIV dari ibu ke janin
·
Efek
jangka panjang yang belum diketahui terhadap bayi bila menggunakan obat ARV
selama kehamilan
·
Informasi
yang tersedia mengenai penggunaan obat anti HIV selama kehamilan
Wanita
hamil dengan HIV pada trimester pertama tanpa gejala HIV, dapat menunda
pengobatan sampai usia kehamilan 10 – 12 minggu. Setelah trimester pertama,
ODHA hamil harus menerima pengobatan setidaknya dengan zidovudine (dikenal juga
dengan ZDV atau AZT). Pengobatan tambahan dapat dipertimbangkan, sesuai dengan
jumlah CD4 dan jumlah virus.
Kombinasi terapi antiretroviral biasanya terdiri dari dua
nucleoside analog reserve transcriptase inhibitors (NRTIs) dengan protease
inhibitor (PI), merupakan pengobatan standar yang direkomendasikan untuk orang
dewasa dengan infeksi HIV-1 yang tidak hamil. Pada kehamilan tidak
diperkenankan menggunakan regimen pengobatan ini.
Pemilihan pengobatan ARV pada wanita hamil dengan HIV
positif, bergantung pada beberapa pemikiran :
· Kemungkinan
perubahan dosis kebutuhan sesuai dengan perubahan fisiologis yang berhubungan
dengan kehamilan.
·
Efek
potensial dari obat antiretroviral pada wanita hamil
·
Efek
potensial jangka pendek maupun panjang dari obat antiretroviral terhadap janin
maupun bayi, yang mungkin belum diketahui untuk semua obat antiretroviral
Keputusan
penggunaan pengobatan ARV selama kehamilan harus dibuat oleh wanita hamil
setelah berdiskusi dengan petugas kesehatan mengenai kegunaan yang sudah maupun
belum diketahui, maupun resiko bagi wanita tersebut dan bayinya.
Perubahan fisiologis selama kehamilan dapat berpengaruh pada
kinetik absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan eliminasi obat, sehingga
juga mempengaruhi pada dosis obat yang dibutuhkan, serta kemungkinan toksisitas
yang ditimbulkan. Selama kehamilan, waktu transit di saluran pencernaan
memanjang, kadar air serta lemak dalam tubuh meningkat, diikuti dengan
peningkatan cardiac output, ventilasi, serta aliran darah liver dan renal,
penurunan konsentrasi protein plasma, peningkatan reabsorbsi sodium renal,
serta perubahan jalur metabolik enzim di liver. Transport obat pada plasenta,
kompartementalisasi obat pada embrio / fetus dan plasenta, biotransformasi obat
oleh fetus dan plasenta, serta eliminasi obat oleh janin, juga berakibat pada
farmakokinetik obat pada wanita hamil. Pertimbangan tambahan penggunaan obat
pada wanita hamil :
· Efek
obat pada janin dan bayi baru lahir, termasuk potensi teratogenik, metagenitas,
maupun karsinogenitas
·
Farmakokinetik
serta toksisitas obat yang ditransport melalui plasenta.
Akibat
yang timbul pada janin dari ibu untuk obat tertentu, tidak hanya bergantung
pada obat itu sendiri, namun juga pada dosis obat, umur kehamilan saat janin
terpapar, durasi paparan, interaksi dengan obat lain yang juga terpapar pada
janin, serta genetik ibu dan janin.
Dalam buku Prevention of Mother to Child Transmission of
HIV, World Health Organization menyebutkan bahwa pengobatan ARV
menurunkan replikasi virus dan jumlah virus pada ibu, serta melindungi janin
terhadap pemaparan virus HIV. Obat ARV secara efektif mengobati infeksi HIV
maternal serta mencegah penularan vertikal.
Pengobatan jangan disamakan dengan pencegahan (profilaksis).
Pengobatan ARV merupakan penggunaan antiretroviral jangka panjang untuk
mengobati infeksi HIV / AIDS ibu, serta mencegah MTCT. Sedangkan profilaksis
ARV merupakan penggunaan antiretroviral jangka pendek untuk mengurangi
penularan HIV dari ibu kepada janin.
Pengobatan dengan antiretroviral selama kehamilan, bila ada
indikasi, akan meningkatkan kesehatan wanita, serta menurunkan resiko penularan
HIV terhadap janin, dan direkomendasikan dalam situasi sebagai berikut:
1. Jika tersedia pemeriksaan CD4,
direkomendasikan untuk mencatat jumlah CD4, serta menawarkan pengobatan ARV
pada pasien dengan:
·
Stadium
IV WHO, tanpa memperhatikan jumlah CD4
·
Stadium
III WHO dengan CD4 < 350/mm3
·
Stadium
I atau II WHO dengan CD4 ≤ 200/mm3
1. Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4,
direkomendasikan untuk menawarkan pengobatan ARV pada pasien dengan:
·
Stadium
IV WHO, tanpa memperhatikan jumlah limfosit total
·
Stadium
III WHO, tanpa memperhatikan jumlah limfosit total
·
Stadium
II WHO dengan limfosit total ≤ 1200/mm3
Bila
pengobtana ARV sudah diindikasikan pada kehamilan, maka harus segera
dilaksanakan. Terkadang pengobatan ditunda sampai setelah trimester pertama.
Wanita hamil yang memperoleh pengobatan ARV membutuhkan perawatan serta
monitoring berkelanjutan antara program HIV / AIDS lokal. Bila terjadi
koinfeksi dengan TB, maka dibutuhkan pengobatan tambahan serta penatalaksanaan
klinis dibutuhkan untuk meminimalkan efek samping.
- Pengobatan Antiretroviral pada Kehamilan di Indonesia
Prinsip pengobatan antiretroviral pada wanita usia subur
atau wanita hamil harus didasarkan atas kebutuhan dan persyaratan ARV seperti
telah disebutkan. Kehamilan dan menyusui memberikan masalah tambahan dalam hal
toksisitas obat terhadap ibu maupun anak, pemilihan obat antiretroviral, serta
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayinya. Regimen lini pertama yang
direkomendasikan untuk kelompok ini adalah:
(d4T atau AZT) + 3TC + NVP
Pilihan ARV bagi ODHA yang masih mungkin hamil, atau adanya
kehamilan yang belum dapat dipastikan atau kehamilan muda, maka obat ARV yang
diberikan harus aman untuk kehamilan trimester I. Untuk kelompok tersebut harus
dihindari pemberian EFV karena bersifat teratogenik. Wanita yang menerima
pengobatan ARV namun tidak ingin hamil, harus menggunakan metode kontrasepsi
yang efektif dan sesuai untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan,
sedangkan EFV dapat tetap menjadi NNRTI pilihan. Wanita yang telah melakukan
pengobatan ART dan kemudian hamil, harus tetap meneruskan pengobatan ARV, namun
bila menggunakan EFV, maka harus dihentikan dan diganti dengan NVP.
Pada umumnya, ODHA hamil lebih dianjurkan memulai pengobatan
ARV setelah melalui trimester I, namun bila berada pada tahap AIDS lanjut,
pemberian terapi segera akan lebih baik diabndingkan dengan resiko apapun pada
janinnya. Pengobatan dengan dua NRTI seperti d4T/ddl tidak diperbolehkan pada
kehamilan, dan hanya digunakan bila tidak ada pilihan lain, sebab kombinasi
tersebut memberikan resiko tinggi terjadinya asidosis laktat pada wanita hamil.
Hepatotoksisitas dengan gejala yang berhubungan dengan NVP
atau ruam kulit yang berat jarang terjadi, dan cenderung terjadi pada wanita
dengan CD4 tinggi (>250sel/mm3). Toksisitas tersebut pernah dilaporkan dari
kelompok wanita hamil, namun belum diketahui mengapa kehamilan merupakan
predisposisi toksisitas tersebut.
ODHA wanita yang pernah memperoleh NVP profilaksis atau 3TC
dosis tunggal PMTCT harus dianggap memenuhi kriteria untuk mendapat regimen
yang mengandung NNRTI dan harus memperoleh akses ARV seumur hidup hingga
tersedia data pasti pada masalah ini.
Banyak negara yang telah mempertimbangkan penggunaan terapi
kombinasi tiga obat jangka pendek untuk PMTCT pada ODHA wanita yang belum
membutuhkan ARV bagi dirinya sendiri, dan terapi pasca persalinan dihentikan
bila belum memenuhi kriteria klinik pemberian ARV. Penggunaan kombinasi yang
sangat aktif tersebut diharapkan akan mencegah penularan perinatal kepada bayi.
Namun demikian, intervensi ini juga memberikan resiko toksisitas obat kepada
ibu dan bayinya dalam keadaan ibu masih cukup sehat dan belum membutuhkan ARV.
Pada suatu kondisi dimana mengharuskan memilih suatu PI
selama kehamilan, maka SQV/r atau NFV merupakan pilihanterbaik karena cukup
aman untuk ibu hamil.
Obat ARV sendiri memiliki potensi untuk menaikan atau
menurunkan bioavailabilitas hormon steroid dan kontrasepsi hormonal. Data yang
terbatas menunjukan adanya inetraksi antara beberapa obat ARV (terutama
beberapa NNRTI dan PI) dengan hormon kontrasepsi dan dapat mengubah keamanan
aatu efikasi hormon kontrasepsi maupun ARV. Belum diketahui apakah kontrasepsi
yang hanya mengandung progesteron suntikan (mis: medroksiprogesteron asetetat
dan norethisteron enentate) juga terancam efikasinya, sebab metode ini
memberikan kadar hormon yang lebih tinggi dalam darah dibanding kontrasepsi
progesteron lain maupun kontrasepsi oral kombinasi. Maka, bila wanita dengan
pengobatan ARV akan memulai ataupun meneruskan kontrasepsi hormonal, tetap
dianjurkan juga selalu menggunakan kondom untuk mencegah penularan HIV dan juga
menjaga kemungkinan adanya penurunan efektivitas kontrasepsi hormonal yang
dipakai.
Di negara berkembang terdapat beberapa regimen
antiretroviral untuk mencegah penularan dari ibu ke janin / bayinya yang
dianjurkan diantaranya:
- Nevirapine
Ibu: diberikan nevirapine 200 mg dosis tunggal saat
persalinan
Bayi: 2 mg/kgBB sebelum umur 3 hari (dalam 72 jam pertama
setelah lahir).
Regimen ini menjadi pilihan karena mudah pemberiannya, tidak
perlu terapi ulangan dan efektif mencegah penularan dari ibu ke anak sampai
13%, serta ekonomis. Faktor ekonomi mendapat perhatian karena harga ARV relatif
mahal dan padaprinsipnya ARV harus diberikan seumur hidup.
Nevirapine dapat menimbulkan ruam kulit, sindrom
Steven-Johnson, peningkatan serum aminotransferase, serta hepatitis.
- AZT
Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300
mg setiap 3 jam selama persalinan berlangsung. Regimen ini lebih efektif untuk
menurunkan resiko penularan dari ibu ke bayi (9%), namun labih mahal, sebab
memerlukan terapi ulangan dengan lama terapi sampai 1 bulan. Mengingat harga
obat relatif, maka dipakai regimen yang paling sesuai dengan kondisi setempat.
Efek samping yang sering terjadi pada wanita hamil yang
mengkonsumsi AZT adalah anemia, karena itu perlu skrining anemia dan
penanganannya bila terjadi anemia. Efek samping lain zidovudine adalah
netropenia, intoleransi gastrointestinal, sakit kepala, insomnia, miopati,
asidosis laktat.
Pemberian antiretroviral pada wanita hamil tidak menimbulkan
resistensi terhadap antiretroviral, karena pemberiannya hanya dalam waktu
singkat, kurang dari 3 bulan. Walupun diketahui ada kemungkinan terapi tunggal
dengan nevirapine dapat menimbulkan resitensi dengan cepat, namun sejauh ini
belum ada bukti untuk itu.
Tabel
4. Panduan Pengobatan ARV pada PMTCT
Kondisi Klinis
|
Regimen bagi Ibu
(dosis sesuai tabel 3)
|
Regimen bagi Bayi
|
|
1.
|
ODHA
dengan indikasi ARV yang mungkin dapat hamil
|
|
|
2.
|
ODHA
dengan ARV yang kemudian hamil
|
|
|
3.
|
ODHA
hamil dengan inidikasi ARV
|
|
|
Kondisi Klinis
|
Regimen bagi Ibu
(dosis sesuai tabel 3)
|
Regimen bagi Bayi
|
|
4.
|
ODHA hamil
namun belum ada indikasi ARV
|
|
NVP
dosis tunggal dalam 72 jam pertama + AZT selama 1 minggu
|
Regimen alternatif:
|
|
||
NVP
dosis tunggal intrapartum
|
NVP
dosis tunggal dalam 72 jam
|
||
5.
|
ODHA
hamil dengan indikasi ARV namun tidak mulai ARV
|
Sesuai
butir 4, namun lebih baik menggunakan regimen yang paling efektif dari yang ada
|
|
6.
|
ODHA
hamil dengan TB aktif OAT yang sesuai untuk wanita hamil tetap diberikan
|
Bila
dipertimbangkan untuk menggunakan ARV:
Bila
pengobatan dimulai pada trimester III:
|
|
7.
|
Ibu
hamil dalam masa persalinan dengan status HIV tidak diketahui
Atau
ODHA
yang datang saat persalinan tetapi belum pernah mendapat ARV
|
Bila
sempat tawarkan pemeriksaan dan konseling pada ibu yang belum diketahui
status HIV-nya, bila tidak, lakukan pemeriksaan dan konseling segera setelah
persalinan (dengan persetujuan) dan ikuti butir 8
|
|
Bila
positif:
|
|
||
8.
|
Bayi
lahir dari ODHA yang belum pernah mendapat obat ARV
|
NVP
dosis tunggal sesegera mungkin + AZT selama 1 minggu. Bila diberikan setelah
> 2 hari kurang bermanfaat
|
*
Dikutip dari: "Recommendation
on ARVs and MTCT Prevention 2004". WHO Juli 2004
- Keamanan dan Toksisitas Pengobatan Anti HIV selama Kehamilan
Informasi mengenai pengobatan anti HIV bagi wanita hamil
terbatas dibanding dengan wanita dewasa yang tidak hamil, namun cukup diketahui
untuk merekomendasikan pengobatan yang cocok bagi ibu dan bayinya.
Bagaimanapun, menurut Perinatal HIV Guidlines Working
Group tahun 2005 efek jangka panjang dari pengobatan ARV terhadap janin
in-utero masih belum diketahui.
Salah satu regimen pengobatan yang dapat digunakan adalah non-nucleosid
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) niverapine (NVP). Penggunaan jangka
panjang NVP dapat menyebabkan beberapa efek samping negatif seperti kelelahan
atau kelemahan, mual, kehilangan nafsu makan, mata atau kulit yang menguning,
atau tanda toksisitas liver seperti liver pengerasan atau pembesaran atau
peningkatan liver enzim. Efek tersebut belum ditemukan pada penggunaan jangka
pendek (satu atau dua dosis) NVP selama kehamilan. Kondisi pasien selama
pengobatan dengan NVP harus diawasi sebab, kehamilan dapat menimbulkan beberapa
gejala awal toksisitas liver. Penggunaan NVP juga memerlukan perhatian pada
wanita yang belum pernah mendapat pengobatan anti HIV serta pada wanita dengan
CD4 > 250 sel/mm3. Toksisitas liver lebih sering timbul pada penderita
tersebut.
Delavirdine dan efavirenz, merupakan NNRTI yang disetujui
oleh FDA, namun tidak direkomendasikan penggunaannya pada wanita hamil dengan
HIV positif. Penggunaan obat ini selama kehamilan dapat menimbulkan cacat
lahir.
Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) dapat menimbulkan
toksisitas mitokondrial, yang dapat menimbulkan timbunan asam laktat dalam
darah. Timbunan ini dikenal sebagai hyperlactemia atau asidosis laktat.
Toksisitas ini dapat dipertimbangkan bagi wanita hamil dan bayinya yang akan
terpapar NRTIs secara in-utero.
Protease Inhibitors (PIs) dihubungkan dengan peningkatan kadar gula darah atau
hiperglikemia, timbulnya diabetes mellitus, atau memberatnya gejala diabetes
mellitus, serta diabetik ketoasidosis. Kehamilan juga merupakan faktor resiko
untuk hiperglikemia, namun belum diketahui apakah penggunaan PI meningkatkan
resiko timbulnya hiperglikemia yang berhubungan dengan kehamilan atau diabetes
gestasional.
Enfuvirtide (T-20) merupakan satu – satunya fusion inhibitor
yang disetujui FDA, sangat sedikit yang diketahui mengenai penggunaannya selama
kehamilan.
- Penanganan Persalinan
Kebanyakan penularan HIV terhadap janin / bayi terjadi saat
persalinan, maka pemberian pengobatan pada saat ini merupakan hal yang sangat
penting untuk melindungi infeksi HIV terhadap bayi. Menurut Perinatal HIV
Guidlines Working Group tahun 2005, terdapat beberapa regimen pengobatan
yang dapat menurunkan resiko penularan terhadap bayi. Regimen yang biasa
digunakan adalah three part ZDV regimen :
- Wanita hamil dengan HIV
ZDV dimulai pada kehamilan 14 – 34 minggu dengan dosis 5 x
100 mg, atau 3 x 200 mg, atau 2 x 300 mg
- Persalinan
Pada saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena
- Bayi
Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap
6 jam selam 6 minggu setelah dilahirkan.
Bila selama kehamilan wanita hamil dengan HIV positif sudah
mendapat pengobatan anti HIV lain, maka pengobatan tersebut dilanjutkan sesuai
jadwal selama persalinan.
Pilihan persalinan bagi wanita hamil dengan HIV positif,
tergantung pada keadaan kesehatan serta pengobatannya. Persalinan dapat
dilakukan pervaginam maupun secara operatif dengan seksio sesarea. Pemilihan
cara persalinan harus dibicarakan terlebih dahulu selama kehamilan, seawal
mungkin.
Seksio sesarea direkomendasikan bagi wanita hamil dengan HIV
positif dengan:
· Jumlah
virus tidak diketahui atau > 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu
· Belum
pernah mendapat pengobatan anti HIV atau hanya mendapat zidovudine selama
kehamilan
·
Belum
pernah mendapat perawatan prenatal sampai usia kehamilan 36 minggu atau lebih
Untuk
lebih efektif dalam mencegah penularan, seksio sesarea sudah harus dijadwalkan
pada kehamilan 38 minggu, dan harus dilakukan sebelum ketuban pecah.
Persalinan pervaginam merupakan pilihan persalinan bagi
wanita hamil dengan HIV positif dengan:
·
Sudah
memperoleh perawatan prenatal selama kehamilan
·
Viral
load < 1000/mL pada usia kehamilan 36 minggu
·
Mendapat
pengobatan ZDV dengan atau tanpa obat anti HIV lainnya.
Persalinan
pervaginam juga dapat dilakukan pada wanita hamil dengan HIV positif bila
ketuban sudah pecah, dan persalinan berlangsung secara cepat.
Semua cara persalinan mempunyai resiko, namun resiko
penularan HIV dari wanita hamil dengan HIV positif kepada bayinya lebih tinggi
pada persalinan pervaginam dibanding seksio sesarea yang terencana. Bagi ibu,
seksio sesarea meningkatkan resiko infeksi, masalah yang berhubungan dengan
anestesia, serta resiko lain yang berhubungan dengan tindakan operatif. Bagi
bayi, seksio sesarea meningkatkan resiko infant respiratory disetress.
Pemberian ZDV intravena (i.v) dimulai 3 jam sebelum tindakan
seksio sesarea, dan dilanjutkan setalah bayi dilahirkan. ZDV i.v harus
diberikan selama persalinan dan setelah bayi lahir pada persalinan pervaginam.
Hal yang juga penting dilakukan adalah meminimalkan kontak bayi terhadap darah ibu.
Hal ini dapat dilakukan dengan dengan menghindari pemeriksaan invasif, serta
persalinan dengan vakum maupun forsep.
Semua bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif
harus memdapat pengobatan anti HIV untuk mencegah penularan HIV. Pengobatan minimal
dengan pemberian ZDV selama 6 minggu, terkadang juga dengan pemberian obat
tambahan lainnya.
Bila telah diputuskan untuk melakukan tindakan seksio
sesarea yang terjadwal untuk menghindari penularan virus HIV, ACOG
merekomendasikan untuk melakukannya pada usia kehamilan 38 minggu, dilihat dari
keaadaan klinik yang diperkirakan paling baik serta menghindari pecahnya
ketuban. Pada wanita yang tidak terinfeksi virus HIV, penatalaksanaan seksio
sesarea tanpa mengetahui kematangan paru janin, menurut ACOG, ditunda sampai
pada usia kehamilan 39 minggu, atau pada saat memasuki persalinan, untuk
mengurangi kemungkinan komplikasi pada janin. Tindakan seksio sesarea antara
usia kehamilan 38 atau 39 minggu, memiliki sedikit perbedaan pada kemungkinan
peningkatan terjadinya infant respiratory distress, yang membutuhkan
ventilasi mekanis. Peningkatan resiko ini diimbangi dengan kejadian resiko
persalinan serta pecahnya ketuban sebelum mencapai usia kehamilan 39 minggu.
Pada wanita yang telah dijadwalkan untuk dilakukan tindakan
seksio sesarea, pemberian ZDV harus dimulai 3 jam sebelum tindakan operatif,
sesuai dengan standar dosis rekomendasi. Pengobatan antiretroviral lain yang
digunakan selama kehamilan harus tetap dilanjutkan pada saat mendekati saat
persalinan, dan selama persalinan berlangsung. Dengan meningkatnya morbiditas
maternal akibat infeksi, perlu dipikirkan juga mengenai pemberian antibiotik
profilaksis perioperatif, walaupun belum ada penelitian mengenai efisiensinya.
Pecahnya ketuban, meningkatkan kejadian penularan perinatal,
pada wanita yang tidak memperoleh pengobatan antiretroviral. Pada wanita yang
memperoleh pengobatan ZDV, penelitian menunjukan meningkatnya resiko penularan
pada ketuban yang pecah 4 jam atau lebih sebelum persalinan. Prosedur obstetri
meningkatkan resiko pemaparan janin terhadap darah ibu, seperti amniosintesis,
serta monitoring secara invasif harus dihindari. Prosedur ini harus dilakukan
hanya jika ada indikasi. Jika terjadi ketuban pecah dini, sebelum atau
menjelang persalinan, perlu dilakukan tindakan untuk mempersingkat waktu
persalinan, seperti pemberian oksitosin, dapat dipikirkan
Rekomendasi pencegahan penularan vertikal HIV terhadap janin
:
· Usaha
memaksimalkan kesehatan wanita hamil, pemberian kombinasi terapi
antiretroviral, diharapkan dapat menurunkan jumlah virus serta angka penularan
vertikal. Penurunan minimum penularan HIV, direkomenndasikan pemberian regimen
ZDV profilaksis menurut PACTG 076.
· Tingkat
plasma HIV-1 RNA harus dimonitor selama kehamilan sesuai dengan standar
pelaksanaan infeksi HIV pada dewasa.
·
Penularan
HIV perinatal dapat diturunkan dengan tindakan seksio sesarea terencana, pada
wanita dengan tingkat RNA HIV-1 yang tidak diketahui, yang tidak memperoleh
pengobatan antiretroviral, atau hanya memperoleh ZDV profilaksis.
· Wanita
dengan tingkat HIV-1 RNA > 1000/ml, harus dikonsultasikan untuk membicarakan
mengenai tindakan seksio sesarea terencana untuk menurunkan resiko penularan
vertikal.
·
Penatalaksanaan
pada wanita yang telah direncanakan untuk tindakan seksio sesarea dan datang
dengan ketuban pecah, atau datang dalam keadaan persalinan, harus berdasarkan
lamanya waktu ketuban pecah, jalannya persalinan, tingkat plasma HIV-1 RNA,
pengobatan antiretroviral sebelumnya, serta faktor klinis lainnya. Masih belum jelas
manfaat tindakan seksio sesarea yang dilakukan setelah ketuban pecah, atau
setelah persalinan berlangsung.
· Wanita
tersebut juga harus memperoleh penjelasan mengenai resiko yang berhubungan
dengan tindakan seksio sesarea. Resiko yang timbul harus seimbang dengan
manfaat yang diperoleh bagi janin.
· Wanita
tersebut juga harus memperoleh konsultasi mengenai data yang masih terbatas.
Keputusan mengenai persalinan yang akan dijalankan harus dihormati.
- Persalinan bagi Wanita Hamil dengan HIV Positif di Indonesia
Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2003 menyebutkan, di negara
maju, seksio sesarea sebelum mulai persalinan dapat mengurangi resiko penularan
dari ibu ke bayi sampai 80% (1,8% dibandingkan 10,5%). Penelitian pada 8533
pasangan ibu dan anak di Amerika Utara dan Eropa didapatkan bahwa seksio
sesarea elektif sebelum inpartu dan sebelum pecah ketuban dapat menurunkan
resiko penularan HIV dari ibu ke anak sebesar 50% dibandingkan persalinan
pervaginam. Bila seksio sesarea elektif disertai penggunaan pengobatan
antiretroviral, maka resiko dapat diturunkan sampai 87%. Bila dilakukan
perbandingan antara seksio sesarea disertai pengobatan antiretroviral dengan
partus pervaginam yang disertai pengobatan antiretroviral, insiden penularan
menjadi 2% pada seksio sesarea elektif dan 7,3% pada partus pervaginam.
Walaupun demikian, seksio sesarea bukanlah operasi tanpa resiko, apalagi pada
ODHA dimana imunitas penderita sangat lemah. Di Zambia dilaporkan 75% ODHA
mengalami keterlambatan penyembuhan luka dengan resiko infeksi meningkat. Di
Ruwanda, seksio sesarea bahkan menyebabkan kematian penderita ODHA meningkat.
WHO tidak merekomendasikan untuk melakukan seksio sesarea,
tetapi juga tidak melarang mengingat kondisi di masing- masing daerah berbeda,
perlu dipertimbangkan biaya untuk operasi, fasilitas untuk tindakan tersebut,
komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat imunitas ibu yang rendah.
Tindakan yang tidak diperbolehkan karena meningkatkan resiko
penularan HIV dari ibu ke bayi adalah berupa tindakan obstetrik invasif yang
tidak perlu, dan dapat menjadi jalur penularan HIV, seperti:
·
Episiotomi
rutin
·
Ekstraksi
vakum
·
Ekstraksi
cunam
·
Pemecahan
ketuban sebelum pembukaan lengkap
·
Terlalu
sering melakukan pemeriksaan dalam
· Memantau
analisa gas darah janin selama persalinan dimana sampel darah diambil dari
kulit kepala janin
Tabel
5. Alat pelindung bagi Tenaga Medis
Jenis
Tindakan
|
Cuci Tangan
|
Sarung Tangan
|
Masker
|
Kaca Mata
|
Topi
|
Celemek
|
Gaun
|
Sepatu Pelindung
|
Pemeriksaan
fisik kulit utuh
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Pemeriksaan
fisik kulit luka
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Mengambil
sampel darah
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Menyuntik
intravena
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Membersihkan
luka / venaseksi
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Kateterisasi
urine
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Pemeriksaan
pelvis (vaginal toucher)
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Menolong
persalinan
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Memandikan
bayi
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Membersihkan
ruang
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
+
/ -
|
-
|
+
/ -
|
Mencuci
piring / alat makan
|
+
|
+
|
-
|
-
|
-
|
+
/ -
|
-
|
-
|
Mencuci
pakaian
|
+
|
+
|
+
/ -
|
+
/ -
|
+
/ -
|
+
|
+
/ -
|
+
|
- Pasca Persalinan bagi Wanita dengan HIV Positif dan bayinya
Pengobatan bagi wanita postpartum dengan HIV, sedapat
mungkin harus sudah dibicarakan salama kehamilan atau segera setelah
melahirkan. Perinatal HIV Guidlines Working Group tahun 2005
menyebutkan, bayi yang lahir dari wanita dengan HIV positif, mendapat
pemeriksaan HIV yang berbeda dari orang dewasa. Pada orang dewasa dilakukan
pemeriksaan untuk mencari antibodi HIV dalam darah. Bayi menyimpan antibodi ibu
dalam darahnya, termasuk antibodi HIV, selama beberapa bulan setelah
dilahirkan. Maka, tes antibodi yang diberikan sebelum bayi berusia 1 tahun akan
memperoleh hasil positif walaupun bayi tersebut tidak menderita HIV. Untuk
tahun pertama, bayi diperiksa untuk HIV secara langsung, bukan untuk mencari
antibodi HIV. Bayi berusia > 1 tahun, tidak lagi memiliki antibodi dari ibunya,
sehingga dapat diperiksa antibodi HIV.
Pemeriksaan preliminary HIV untuk bayi biasanya
dilakukan pada:
·
Antara
48 jam setelah lahir
·
Antara
1 – 2 bulan
·
Antara
3 – 6 bulan
Bayi
dicurigai terinfeksi HIV bila hasil pemeriksaan positif pada dua dari
pemeriksaan di atas.
Pada usia 12 bulan, bayi yang memiliki hasil pemeriksaan
preliminary positif, harus dilakukan pemeriksaan antibodi HIV untuk memastikan
infeksi. Bayi dengan hasil pemeriksaan antibodi HIV negatif, pada saat ini
tidak terinfeksi HIV. Bayi dengan hasil pemeriksaan antibodi HIV positif, harus
diperiksa ulang pada usia 15 – 18 bulan.
Bayi yang yang lahir dari wanita dengan HIV positif harus
dilakukan pemeriksaan Complete Blood Count (CBC) setelah dilahirkan.
Bayi harus diawasi juga dari tanda anemia, yang merupakan efek samping negatif
yang ditimbulkan pengobatan ZDV selama 6 minggu yang diberikan kepada bayi.
Bayi tersebut juga harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, serta imunisasi
lainnya.
Semua bayi yang dilahirkan dari wanita dengan HIV positif direkomendasikan
untuk mendapat pengobatan ZDV oral selama 6 minggu untuk mencegah penularan HIV
dari ibunya. Regimen ZDV oral ini harus mulai diberikan 6 – 12 jam setelah bayi
lahir. Pemberian ZDV dapat juga dikombinasikan dengan ARV lainnya.
Sebagai tambahan dalam pengobatan ARV, bayi juga harus
memperoleh pengobatan untuk mencegah P. carinii/jiroveci pneumonia (PCP).
Pengobatan yang direkomendasikan adalah dengan kombinasi sulfamethoxazole dan
trimethoprim. Pengobatan ini harus dimulai saat bayi berusia 4 – 6 minggu dan
dilanjutkan sampai bayi diyakinkan HIV negatif. Bila hasil pemeriksaan bayi HIV
positif, maka pengobatan terus dilanjutkan.
Berikan penjelasan kepada pasien untuk dapat memperoleh
perawatan kesehatan yang sesuai serta pelayanan pendukung lainnya bagi ibu dan
bayi :
·
Perawatan
kesehatan rutin
·
Perawatan
khusus HIV
·
Keluarga
berencana
·
Pelayanan
kesehatan jiwa
·
Substance
abuse treatment
·
Case
management
Wanita
dengan HIV positif diharapkan tidak menyusui bayinya untuk mencegah penularan
HIV melalui ASI.
Selama masa postpartum dapat terjadi perubahan fisik dan
emosional, bersamaan dengan tekanan dan tanggungjawab untuk merawat bayi, dapat
mempersulit dalam melanjutkan pengobatan regimen ARV.
Perlu juga dibicarakan kepada pasien mengenai:
·
Hal
yang tidak dimengerti yang mengenai regimen obat dan pengobatan yang baik
·
Rasa
depresi (banyak wanita yang mengalaminya setelah melahirkan)
·
Rencana
jangka panjang untuk melanjutkan perawatan kesehatan dan pengobatan ARV bagi
ibu dan bayi
- Penanganan Pasca Persalinan di Indonesia
Sesuai dengan Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2003, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pasca persalinan, antara
lain :
- Kontrasepsi
Bila bayi tidak disusui, maka efek kontraseptif laktasi akan
hilang, sehingga pasangan tersebut harus memakai kontrasepsi untuk menghindari
atau menunda kehamilan berikutnya. Seorang ODHA sudah harus menggunakan alat
kontrasepsi paling lambat 4 minggu post partum.
- Menyusui
Bagi ibu yang belum diketahui status serologinya, dianjurkan
menyusui bayinya secara ekslusif selama 6 bulan, dan dapat dilanjutkan sampai 2
tahun atau lebih. Makanan alternatif diberikan sejak bayi berusia 6 bulan.
Bagi ibu dengan HIV positif tidak dianjurkan menyusui
bayinya, sebab dapat terjadi penularan HIV antara 10 – 20%, apalagi bila
terdapat lecet pada payudara, atau terdapat mastitis.
Sebaliknya bila tidak menyusui, bayi akan beresiko untuk
salah gizi dan mudah terserang penyakit infeksi termasuk HIV. Pada keadaan
dimana ibu tidak bisa membeli susu formula, lingkungan yang tidak memungkinkan
seperti tidak tersedianya air bersih dan sosiokultural, bila pemberian susu
formula tidak dapat diterima, tidak menguntungkan, tidak terjangkau, tidak
berkesinambungan, tidak aman, maka bayi dapat diberi ASI ekslusif sampai usia 4
– 6 bulan, selanjutnya segera disapih.
Sekitar 50 – 75% dari bayi yang disusui ibu ODHA, terinfeksi
HIV pada 6 bulan pertama kehidupannya, tetapi bayi yang disusui secara ekslusif
selama 6 bulan mempunyai resiko lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang
mendapat makanan tambahan. Pada bayi yang mendapat makanan tambahan pada usia
< 6 bulan, dapat terjadi stimulasi imunologis dini akibat kontak dengan
makanan yang terlalu dini sehingga terjadi gangguan pencernaan yang
mengakibatkan peningkatan permiabilitas usus, yang dapat merupakan tempat
masuknya HIV.
Pemberian ASI ekslusif selama 4 – 6 bulan mengurang
morbiditas dan mortalitas akibat infeksi selain HIV. Pemberian makanan tambahan
juga berkaitan dengan resiko mastitis, akibat ASI yang terakumulasi pada
payudara ibu. Cara lain menghindari penularan HIV, dengan menghangatkan ASI di
atas 66° C untuk membunuh virus HIV dan
mnyusui hanya dilakukan pada bulan – bulan pertama saja.
PASI (Pengganti Air Susu Ibu) dapat disiapkan dari susu
hewan seperti sapi, kerbau, kambing. Susu hewan murni mengandung terlalu banyak
protein, sehingga dapat merusak ginjal dan menganggu usus bayi, maka susu
tersebut harus dicairkan dengan air, dan ditambahkan gula untuk energi. PASI
sebaiknya diberikan dengan cangkir, sebab lebih mudah dibersihkan dibandingkan
botol. Pemberian makanan campuran seperti susu, makanan, jus, dan air tidak
diperkenankan sebab dapat meningkatkan resiko penularan dan peningkatan angka
kematian bayi.
Bila dimungkinkan, diberikan susu formula, bila tidak, dapat
dilakukan pemberian ASI secara ekslusif selama 6 bulan penuh, selanjutnya
segera disapih.
- Terapi antiretroviral dan imunisasi
Sebelum mendapat pengobatan antiretroviral, ibu perlu
mendapatkan konseling. Sesuai protokol ARV, minimal 6 bulan sudah harus periksa
CD4. Pengobatan antiretroviral semakin penting setelah ibu melahirkan, sebab
ibu harus merawat anaknya sampai cukup besar. Tanpa pengobatan antiretroviral
dikhawatirkan usia ibu tidak cukup panjang.
Bayi harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes HIV
harus sudah dikerjakan saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif diulang
saat berusia 18 bulan.
- Kesimpulan
- World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan.
- Perinatal
HIV Guidelines Working Group
(24 Februari 2005)
Pengobatan ARV pada wanita hamil diberikan bila :
- Mengalami gejala berat HIV atau dengan diagnosa AIDS
- CD4 < 200 sel/mm3
- Viral load > 1000/ml
Regimen yang biasa digunakan adalah three part ZDV
regimen :
- Wanita hamil dengan HIV
ZDV dimulai pada kehamilan 14 – 34 minggu dengan dosis 5 x
100 mg, atau 3 x 200 mg, atau 2 x 300 mg
- Persalinan
Pada
saat persalinan, dilakukan pemberian ZDV intravena
1. Bayi
Bayi yang dilahirkan diberikan ZDV dalam bentuk cair setiap
6 jam selam 6 minggu setelah dilahirkan.
Pemeriksaan
preliminary HIV untuk bayi biasanya dilakukan pada:
·
Antara
48 jam setelah lahir
·
Antara
1 – 2 bulan
·
Antara
3 – 6 bulan
1. Direktorat Jendral Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesahatan Republik
Indonesia
Regimen antiretroviral di negara berkembang untuk mencegah
penularan dari ibu ke janin / bayinya yang dianjurkan diantaranya:
1. Nevirapine
Ibu: diberikan nevirapine 200 mg dosis tunggal saat
persalinan
Bayi: 2 mg/kgBB sebelum umur 3 hari (dalam 72 jam pertama
setelah lahir).
2. AZT
Ibu hamil 36 minggu: diberikan AZT 2 x 300 mg/hari, dan 300
mg setiap 3 jam selama persalinan berlangsung.
Hindari tindakan obstetrik invasif yang tidak perlu,
seperti:
·
Episiotomi
rutin
·
Ekstraksi
vakum
·
Ekstraksi
cunam
·
Pemecahan
ketuban sebelum pembukaan lengkap
·
Terlalu
sering melakukan pemeriksaan dalam
· Memantau
analisa gas darah janin selama persalinan dimana sampel darah diambil dari
kulit kepala janin
Pasca
persalinan, antara lain :
1. Kontrasepsi
Kontrasepsi yang dianjurkan dengan menggunakan kondom.
Seorang ODHA sudah harus menggunakan alat kontrasepsi paling lambat 4 minggu
post partum.
2. Menyusui
Bila dimungkinkan, diberikan susu formula, bila tidak, dapat
dilakukan pemberian ASI secara ekslusif selama 6 bulan penuh, selanjutnya
segera disapih.
3. Terapi antiretroviral dan imunisasi
·
Ibu
minimal 6 bulan sudah harus periksa CD4. Pengobatan antiretroviral semakin
penting setelah ibu melahirkan, sebab ibu harus merawat anaknya sampai cukup
besar.
·
Bayi
harus mendapat imunisasi seperti bayi sehat. Tes HIV harus sudah dikerjakan
saat bayi berusia 12 bulan, dan bila positif diulang saat berusia 18 bulan.
Author : Sarsanto W. Sarwono, Stephanus P. Nurdin, Miranti
Pusparini
0 komentar:
Posting Komentar